sekolah kebudayaan lampung

hanya untuk mencatat, hanya untuk mengenang

Arsitektur Tradisional Lampung

Khasanah arsitektur tradisional Lampung  bisa dibilang sebagai warisan leluhur budaya yang tidak akan dapat ditemukan lagi di lingkungan masyarakatnya. Selain ahli warisnya tidak merasa memiliki tradisi ini karena tidak pernah mempelajari kekayaan nilai yang melatarbelakangi pembangunannya, juga disebabkan factor domestic terkait pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Kemiskinan masyarakat adat di perkampungan-perkampungan negeri (kampung asli masyarakat adat Lampung) (baca: tulisan saya tentang Marga Smuong, Marginalisasi Masyarakat Adat di Media Indonesia edisi 3 Desember 2007), berimplikasi terhadap upaya mereka untuk melestarikan tradisi-tradisi warisan leluhur budayanya.
Kondisi seperti ini sangat dirasakan masyarakat adat Lampung keturunan Buay Pernong di Kabupaten Lampung Barat. Rumah adat milik masyarakat adat di Pekon Batubekhak (baca=batu berak), daerah yang diyakini sebagai asal mula masyarakat adat Lampung, diperkirakan berusia 200—500 tahun, berdiri goyah pada fondasi tiang-tiang berdiameter 0,5—1 meter. Bangunan yang memiliki nilai sejarah arsitektur ini telah berulang-ulang direnovasi, namun renovasi justru menghilangkan nilai-nilai sejarahnya.

Akibat pengetahuan para “tukang” tentang tradisi arsitektur Lampung sangat rendah, bahkan tidak punya sama-sekali, membuat perubahan mendasar pada struktur-struktur bangunan. Tiang-tiang yang penuh ragam ornamen menggambarkan realitas kehidupan leluhur budaya masyarakat Lampung, dibuang dan diganti dengan tiang-tiang baru. Tiang asli dibiarkan melapuk dan dirubuki rayap atau dibakar seolah-olah tak ada nilai pentingnya bagi kehidupan saat ini. Atap rumah yang mestinya ijuk, diganti dengan seng, belum lagi struktur ruang dalam dan ornamen-ornamen luarnya.
Rumah berbentuk persegi empat ini, berdiri di atas tiang-tiang, dan pintu masuk berupa tangga. Rumah ini awalnya bukan sekedar tempat tinggal bagi masyarakat adat keturunan Buay Pernong, melainkan sebuah bangunan penuh struktur simbolik yang mengandung nilai-nilai kebudayaan masyarakat penganutnya. Rumah ini merupakan perwujudan fisik dari masyarakat adat Buay Pernong, sebuah kosmologi cultural, dimana tergambar jelas stratifikasi masyarakat ini secara sosial. Dalam pandangan sejarah cultural sebagaimana diyakini sebagian masyarakat adat di Kabupaten Lampung, Buay Pernong dibandingkan buay-buay lainnya adalah perwujudan masyarakat yang memiliki kelas sosial lebih sejahtera dan hidup yang suka berpoya-poya.
Sayang, pengetahuan masyarakat Lampung atas sejarah arsitekturnya sangat rendah. Tidak adanya penelitian yang konprehensif menyebabkan peninggalan leluhur budayaan ini sulit diwariskan, sehingga dikhawatirkan tradisi ini akan mengalami kepunahan yang apat merugikan para ahli warisnya. Padahal, sejarah sangat penting bagi manusia saat ini. Setiap arus waktu yang telah berlalu tak akan dapat lagi kembali, namun mengupayakan masa lalu untuk hadir di tengah-tengah kehidupan hari ini menjadi prestasi yang pantas dibanggakan guna merenungkan apa yang telah kita lakukan selama ini. Manusia, menurut Martin Heidegger (1889-1976), ditandai ciri historisitas (historicity). Manusia adalah subjek sekaligus objek sejarah. Di satu sisi, manusia terlahir dalam suatu kubangan sejarah tertentu yang akan terus membentuknya sepanjang waktu, sementara ia sendiri juga senantiasa berusaha melakukan pergulatan-pergulatan dalam bentuk inovasi-inovasi kreatif dalam rangka menampakkan jejak langkahnya di antara lorong-lorong sejarah.
Historisitas ini tidak saja melekat pada level individu, juga berkait dengan tatanan kebudayaan suatu masyarakat. Kontinuitas perkembangan suatu peradaban direkam dan dirawat dalam dan melalui pita sejarah. Dalam wadah sejarah itulah akar tradisi yang mewujud nilai-nilai luhur diseduh untuk merengkuh identitas bersama masyarakat. Tetapi dalam masyarakat Lampung, kesadaran terhadap sisi historisitas itu, baik dalam level individu maupun sosio-kultural, sama sekali tidak muncul dalam hal melestarikan arsitektur tradisional. Ini dapat dilihat dari pembangunan rumah-rumah baru sebagai upaya pelestarian tradisi arsitektur ini, hampir tidak pernah dilakukan sejak pertengahan abad ke-19.
Masyarakat tradisional Lampung berhenti membangun rumah-rumah tradisional karena kolonialisme Belanda menerapkan hukum yang melarang melakukan penebangan pohon secara liar, sehingga rumah-rumah tradisional yang 100% bahan bakunya kayu, tidak bisa lagi dibangun. Kalau saat itu tetap ada masyarakat yang membangun rumah, mereka merupakan keluarga tokoh adat (saibatin) atau para pemilik kebun cengkih dan kopi yang memang mendapat perlakuan-perlakuan khusus dari Pemerintah Hindia Belanda. Namun, izin pembangunan rumah tradisional (sekaligus menjadi izin penebangan pohon) baru bisa keluar apabila si pemilik rumah menyetujui tawaran dari Pemerintah Hindia Belanda terkait penggunaan ornamen-ornamen khas Eropa (Belanda) pada rumah tersebut.
Karena kebijakan politik Pemerintah Hindia Belanda inilah, banyak rumah di lingkungan masyarakat tradisional yang mulai mengenal penggunaan bahan tembaga (ini muncul pada ornamen untuk jendela), mengenal penggunaan semen untuk tangga, dan ornamen pada pagar dari besi campur tembaga yang dicor. Lama kelamaan ornamen-ornamen Eropa mulai banyak dipergunakan masyarakat, bukan saja karena kebijakan dari Pemerintah Hindia Belanda, melainkan juga karena ornamen-ornamen itu dianggap mewakili kelas sosial masyarakat. Semakin bergaya Eropa desain sebuah rumah, status ekonomi pemilik rumah tersebut dipandang semakin tinggi. Sebab, untuk menghasilkan bangunan bergaya Eropa, perlu tukang-tukang khusus yang didatangkan dari Meranjat (Sumatra Selatan) dan untuk membayar mereka setiap orang mesti mengeluarkan dana sekitar 25.000 Golden.
Pengaruh arsitektur Eropa merupakan salah satu babakan dari perkembangan arsitektur tradisional Lampung. Dari penelitian yang penulis lakukan, pengaruh arsitektur Eropa yang paling bertanggung jawab atas punahnya tradisi arsitektur Lampung. Masa ini diperkirakan sekitar 1840 sampai sekarang, dimana pengaruh kebijakan kolonialisme Belanda tidak saja terasa pada kehadiran rumah-rumah di lingkungan perkotaan, tetapi juga di lingkungan kampung tua.
Rumah-rumah yang ditemukan penulis di berbagai perkampungan negeri di pelosok-pelosok Provinsi Lampung, rata-rata dibangun pasca keluarnya kebijakan pemerinah Hindia Belanda soal “pelarangan penebangan pohon”, sekitar akhir abad ke-19. Bangunan yang berdiri sebelum larangan muncul, atau sebelum pengaruh kolonialisme Belanda tiba di lingkungan masyarakat adat Lampung sekitar decade 1700 atau akhir abad ke-17 sampai akhir abadke-19, sulit menemukannya. Padahal, bangunan pada priode inilah yang memiliki kekhasan tradisi arsitektur masyarakat Lampung.
Rumah-rumah yang dibangun masih sederhana, baik pembagian ruang maupun bentuknya. Sebagaimana rumah-rumah tradisional yang ditemukan di Kepulauan Asia Tenggara dan sebagian daratan Asia, ciri khas berupa umpak, lantai yang ditinggikan sehingga membentuk kolong di bagia bawah lantai, atap berpuncak dengan bubungan yang dipanjangkan, dan ujung dinding muka keluar.
Melihat ciri-ciri khas ini, bisa dikatakan bahwa tradisi arsitektur masyarakat Lampung telah ada ribuan tahun jika titik asal mengacu pada tradisi arsitektur yang dibawa para pelaut Astronesia. Artinya, tradisi arsitektur masyarakat Lampung sudah muncul bahkan sebelum pengaruh budaya Hindu-Buda muncul pada abad ke-9 sampai abad ke-15.
Sepanjang ribuan tahun jika titik asal tradisi arsitektur dari pelaut Astronesia, pastilah sebuah era yang sangat panjang dan meninggalkan nilai-nilai tradisi yang sulit untuk diubah oleh pengaruh budaya Hindu-Buda. Faktor inilah yang ditangkap para arkeolog ketika mereka menyimpulkan adanya tradisi arsitektur yang kuat dari masyarakat awal yang memengaruhi arsitektur Candi Borobudur atau Candi Lara Jonggrang. Artinya, meskipun arsitek pada masa Hindu-Buda (saat Candi Borobudur maupun Candi Lara Jonggrang) dibangun sangat dipengaruhi oleh bentuk-bentuk arsitektur India, namun kedua candi yang merupakan arsitektur klasik di negeri ini ternyata tidak sama persis dengan arsitektur India karena dipengaruhi oleh budaya arsitektur masyarakat asli.
Nilai Sejarah
Dengan cara yang sama, arsitektur khas Lampung juga bisa ditelusuri jejak-jejaknya pada bangunan-bangunan yang ada saat ini. Rumah-rumah yang masih memiliki disain arsitektur tradisional dengan ciri umumnya denah berbentuk bujur sangkar (persagi), berbahan baku kayu, berdiri di atas umpak batu, lantai dinaikkan, bagian depan dimajukan, dan memiliki tangga masuk ke rumah, sedikit banyak pasti mengandung sejarah tradisi arsitektural Lampung. Rumah-rumah itu dapat dipergunakan untuk mengetahui sejarah kebudayaan masyarakat yang tinggal di bagian paling Selatan dari Pulau Sumatra ini. Karena rumah tradisional merupakan ekspresi budaya suatu masyarakat, sehingga siapa pun yang mencoba memahaminya akan segera tahu bahwa kebudayaan Lampung sangat kuat dipengaruhi oleh kebudayaan pelaut-pelaut Austronesia.
Berbeda halnya dengan bangunan-bangunan tradisional yang banyak ditemukan di Pulau Jawa dan Pulau Bali, yang segera dapat dipastikan sebagai ekspresi budaya masyarakat yang menganut kebudayaan India zaman Hindu-Budha. Bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas tumpukan batu sebagaimana acap ditemukan dalam desain arsitektur bangunan candi dan tempat-tempat ibadah. Rumah-rumah tradisional milik masyarakat Lampung, memiliki ciri khas berupa berdiri di atas tiang atau memiliki fondasi yang dinaikkan. Kita mengenal rumah semacam ini sebagai rumah panggung dimana rumah tersebut memiliki tiang-tiang tinggi berkisar 1,5 meter sampai 2 meter, sehingga membentuk sebuah kolong di bawah lantai. Hampir semua rumah tradisional yang ada di kawasan Pulau memiliki fondasi sedemikian rupa, sehingga secara filsofi fondasi serupa itu bukan khas rumah tradisional Lampung. Fondasi semacam ini pun sebetulnya bisa ditemukan di lingkungan masyarakat penganut kebudayaan Dayak Kenyah, Betawi, Jawa, Sumba.
Bahkan, di hampir seluruh di kawasan Asia Tenggara dapat ditemukan rumah tradisional dengan fondasi semacam ini. Sebab itu, bisa disimpulkan bahwa fondasi rumah yang ditinggikan menyebar di beberapa tempat di kawasan Asia Tenggara, sedang kawasan ini kita tahu merupakan daerah penyebaran Austronesia. Dengan begitu, rumah tradisi masyarakat Lampung sangat kuat dipengaruhi oleh kebudayaan Austronesia. Dari simpul ini kita bisa melacak masyarakat seperti apa penganut kebudayaan Lampung, yang sudah barang tentu memiliki kemiripan-kemiripan dengan masyarakat penganut-penganut kebudayaan lain yang ada di Pulau Sumatra. Jika kita bandingkan dengan masyarakat di Sumatra Selatan, yang bersebelahan dengan Lampung, dalam soal tradisi membangunan rumah kedua penganut kebudayaan ini memiliki banyak kesamaan. Bahkan, rumah tradisional milik masyarakat Lampung hampir tidak bisa dibedakan dengan rumah tradisional milik masyarakat Palembang banyak ahli di Lampung yang membuat batasan bahwa rumah tradisional Lampung memiliki struktur dan bentuk atap yang berbeda dari rumah tradisional milik masyarakat Palembang yang khas berbentuk limas, sehingga rumah tradisional mereka disebut juga rumah limas. Tetapi batasan itu sangat picik, karena rumah tradisional yang atapnya berbentuk limas banyak ditemukan di lingkungan masyarakat Lampung, begitu juga sebaliknya. Jadi, soal bentuk atap yang berbeda tidak dapat menjadi patokan karena bentuk atap itu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan asli yang membawa dan memperkenalkan tradisi membangun rumah tersebut. Perbedaan bentuk atap rumah tidak mengandung filosofi apapun melainkan lebih dikaitkan pada kondisi alam dari daerah dimana rumah tersebut dibangun.
Rumah bagi masyarakat tradisional sama seperti kerajaan, tetapi yang paling penting rumah pada awalnya berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala bentuk gejala alam. Karena itu, khasanah arsitektur rumah-rumah tradisional muncul sebagai antisipasi manusia terhadap kondisi alam di lingkungannya, sehingga untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi masyarakat tradisional akan membangun bentuk atap yang membuat air hujan tidak merembes ke bagian dalam rumah. Faktor curah hujan ini menjadi pertimbangan karena sebagian besar atap rumah tradisional menggunakan ijuk atau alang-alang, yang daya tahannya sangat tergantung pada tingkat kekeringannya. Itu sebabnya, di beberapa masyarakat yang rumahnya memiliki fondasi bertiang tinggi, acap mengasapi atap rumahnya dengan cara membakar sesuatu di kolong rumah. Asap dipercaya dapat mengawetkan alang-alang dan ijuk.
Melihat struktur bangunan tradisional Lampung, sama artinya dengan melihat struktur simbol dari kebudayaan masyarakatnya.
Jika defenisi kebudayaan seperti ditawarkan Geertz bahwa kebudayaan adalah seperangkat teks-teks simbolik, maka kesanggupan manusia untuk membaca teks-teks tersebut dipedomani oleh dan dalam struktur-struktur upacara yang bersifat metafor, kognitif, dan penuh dengan muatan emosi dan perasaan. Dengan begitu, penulis meyakini bahwa tradisi arsitektur masyarakat Lampung sangat universal sebagai warisan masyarakat pelaut Austronesia, dan jejak-jejaknya bisa ditemukan di sebagian besar wilayah Nusantara.

Januari 20, 2008 - Posted by | Penelitian

1 Komentar »

  1. Saya sangat tertarik tentang Arsitektur Tradisional Lampung. Setahun yang lalu saya mengkaji tentang Arsitektur “Kampung Negeri Olok Gading”. Sangat disayangkan, dari satu kampung tersebut hanya tersisa 5 rumah yang dapat saya teliti. Ya,Arsitektur tradisional Lampung terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Perkembangan bukan sesuatu yang negatif, tetapi merupakan sesuatu yang harus disyukuri. Namun, menjaga arsitektur tradisional Lampung agar tetap lestari juga merupakan hal yang harus dilaksanakan, karena merupakan gambaran tentang budaya pada masa tersebut, dan merupakan bagian dari sejarah.. Go Lampung..tetaplah lestari..

    Komentar oleh tiara | Juni 12, 2008


Tinggalkan komentar